CSR DAN KEPENTINGAN PEMERINTAH DAERAH

I. Pengantar
Kebijakan desentralisasi sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 telah memberikan dampak positif maupun negatif terhadap aspek politik, ekonomi, maupun sosial. Terdapat beberapa kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah namun tidak sepenuhnya dilatarbelakangi oleh kajian terhadap kebutuhan masyarakat maupun unsur pemangku kepentingan (stakeholder) lain, yang pada akhirnya tidak memberikan dampak manfaat secara langsung. Salah satu fenomena yang terjadi saat ini adalah maraknya pembuatan Peraturan Daerah (Perda) Tanggung Jawab Sosial Perusahaan yang lebih dikenal dengan istilah Perda CSR. Beberapa Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, seperti Kabupaten Tangerang, Kota Serang sudah mensahkan Perda CSR. Sedangkan Kabupaten Serang dan Kota Cilegon sedang merangpungkan draft Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) CSR. 
Munculnya Peraturan Daerah (Perda) CSR merupakan bagian dari fenomena implementasi otonomi daerah, namun yang menjadi pertanyaan adalah seberapa penting diterbitkannya Perda CSR, karena berdasarkan pemberitaan yang ada, wacana yang muncul tidak lepas dari upaya menghimpun dana CSR (Raperda CSR di Rancang, Radar Banten 01/02/2010), bukan pada bagaimana pemerintah mengontrol penerapan CSR perusahaan agar mampu memberikan manfaat bagi masyarakat setempat, berjalan berkelanjutan, dan sesuai konsep pemberdayaan masyarakat (community empowerment). Substansi CSR sendiri bukan pada aspek penghimpunan dana dan pembangunan infrastruktur semata, tapi bagaimana perusahaan mampu mengintegrasikan perhatian terhadap aspek sosial dan lingkungan dalam operasi bisnis mereka dan dalam interaksinya dengan para pemangku kepentingan (stakeholders) berdasarkan prinsip kesukarelaan (Europe Commission, 2004).
Disisi lain, belum ada peraturan yang bisa dijadikan sebagai payung hukum Perda CSR, karena Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Tanggungjawab Sosial dan Lingkungansebagaimana diamanahkan oleh Undang-Undang Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007 sampai dengan saat ini belum selesai dibahas di DPR. Jikapun Perda mengacu pada Peraturan Menteri BUMN tentang Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL), Undang-undang Perseroan Terbatas (PT), Undang-Undang Penanaman Modal, atau Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi. Keempat peraturan tersebut bersifat wajib pada domain perusahaan yang berbeda, mulai dari statuta, jenis usaha, cakupan dan lokasi perusahaan.
Pada aspek lain, belum optimalnya perusahaan dalam menjalankan aktivitas CSR menjadi salah satu alasan pemerintah menerbitkan Perda. Terdapat beberapa indikator yang bisa dijadikan sebagai ukuran sejauhmana keseriusan perusahaan menjalankan aktivitas CSR. Diantaranya, Pertama, tidak semua perusahaan memiliki Standar Operasional Prosedur (SOP) mengenai CSRKeduatidak semua perusahaan memiliki departemen atau divisi khusus yang menangani CSR, karena selama ini aktivitas CSR masih dirangkap oleh divisi Hubungan Masyarakat (Humas) atau Human Resources Development (HRD). Ketigaperusahaan tidak fokus menyiapkan Sumber daya Manusia (SDM) yang memiliki kapasitas dalam mengelola CSR(Rahmatullah, 2011). Ketiga aspek tersebut pada akhirny hanya melahirkan kegiatan CSR yang bentuknya karitatif atau sumbangan semata yang jauh dari konteks tanggungjawab berkelanjutan (sustainable responsibility), padahal dalam tatanan global, pelan atau pasti perusahaan yang produknya terkait ekspor dan impor direkomendasikan mengikuti panduan ISO 26000 tentang Social Responsibility yang penerapannya dimulai pada tahun 2010.
Munculnya Perda CSR setidaknya memunculkan 4 (empat) kemungkinanpertama, ada kesan Pemda berupaya membagi beban tanggungjawab pembangunan kepada perusahaan.kedua, ada upaya meraup dana untuk pembangunan daerah yang bersumber dari pihak ketiga. Ketiga, Pemda berupaya mengelola program CSR satu atap di koordinir oleh Pemda, walaupun belum jelas pola dan tata laksananya.  Keempat, pihak perusahaan tidak serius dalam mendesain dan melaksanakan program CSR.

II. Kerangka Pemikiran
1. Konsep Dasar CSR
Perkembangan CSR tidak bisa terlepas dari konsep pembangunan berkelanjutan (sustainability development), definisi pembangunan berkelanjutan menurut The Brundtland Comission, adalah pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan manusia saat ini tanpa mengorbankan kemampuan generasi yang akan datang dalam memenuhi kebutuhan mereka.The Brundtland Comission merupakan komisi yang dibentuk untuk menanggapi meningkatnya keprihatinan dari para pemimpin dunia menyangkut peningkatan kerusakan lingkungan hidup dan sumber daya alam yang semakin cepat. Selain itu komisi ini mencermati dampak kerusakan lingkungan hidup dan sumber daya alam terhadap ekonomi dan pembangunan sosial. (Solihin: 2009).
Pengenalan konsep Sustainability Development memberikan dampak kepada perkembangan definisi dan konsep CSR. The Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) merumuskan CSR sebagai kontribusi bisnis bagi pembangunan berkelanjutan serta adanya perilaku korporasi yang tidak semata-mata menjamin adanya pengembalian bagi pemegang saham, upah bagi para karyawan, dan pembuatan produk serta jasa bagi para pelanggan, melainkan perusahaan bisnis juga harus memberi perhatian terhadap berbagai hal yang dianggap penting serta nilai-nilai yang ada di masyarakat.Sedangkan Sustainability Development adalah The World Business Council for Sustainability Development (WBCSD) mendefinisikan CSR sebagai komitmen berkelanjutan dari para pelaku bisnis untuk berprilaku secara etis dan memberikan kontribusi bagi pembangunan ekonomi, sementara pada saat yang sama meningkatkan kualitas hidup dari para pekerja dan keluarganya, demikian pula masyarakat lokal dan masyarakat secara luas (Budimanta, 2004).
Setidaknya terdapat tiga alasan penting mengapa kalangan dunia usaha harus merespon CSR agar sejalan dengan jaminan keberlanjutan operasional perusahaan  (Wibisono: 2007), yaitu: Pertamaperusahaan adalah bagian dari masyarakat, oleh karenanya wajar bila perusahaan memperhatikan kepentingan masyarakat. Perusahaan harus menyadari bahwa mereka beroperasi dalam tatanan lingkungan masyarakat. Kegiatan sosial berfungsi sebagai kompensasi atau upaya imbal balik atas penguasaan sumber daya alam atau sumber daya ekonomi oleh perusahaan yang kadang bersifat ekspansif dan eksploratif.
Kedua, kalangan bisnis dan masyarakat sebaiknya memiliki hubungan yang bersifat simbiosis mutualisme. Untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat, wajar bila perusahaan dituntut untuk memberikan kontribusi positif kepada masyarakat, sehingga bisa tercipta harmonisasi hubungan bahkan pendongkrakan citra dan performa perusahaan.
Ketiga, kegiatan CSR merupakan salah satu cara untuk meredam atau bahkan menghindarkan konflik sosial. Potensi konflik itu bisa berasal akibat dari dampak operasional perusahaan atau akibat kesenjangan struktural dan ekonomis yang timbul antara masyarakat dengan komponen perusahaan.
Pada hakikatnya CSR adalah nilai yang melandasi aktivitas perusahaan, dikarenakan CSR menjadi pijakan komperhensif dalam aspek ekonomi, sosial, kesejahteraan dan lingkungan perusahaan. Perusahaan tidak boleh mengimplementasikan CSR secara parsial,  misalnya berupaya memberdayakan masyarakat lokal, sedangkan disisi lain kesejahteraan karyawan yang ada di dalamnya tidak terjamin, atau perusahaan tidak disiplin dalam membayar pajak, suburnya praktik korupsi dan kolusi, atau mempekerjakan anak. Oleh karena itu dalam CSR tercakup didalamnya empat landasan pokok yang antara satu dengan yang lainnya saling berkaitan (Tanari, 2009), diantaranya:
a.       Landasan pokok CSR dalam aktivitas ekonomi, meliputi: kinerja Keuangan berjalan baik, investasi modal berjalan sehat, kepatuhan dalam pembayaran pajak, tidak terdapat praktik suap/korupsi tidak ada konflik kepentingan, tidak dalam keadaan mendukung rezim yang korup, menghargai hak atas kemampuan intelektual/paten, dan tidak melakukan sumbangan politis/lobi,
b.      Landasan pokok CSR dalam isu lingkungan hidup, meliputi: tidak melakukan pencemaran, tidak berkontribusi dalam perubahan iklim, tidak berkontribusi atas limbah, tidak melakukan pemborosan air, tidak melakukan praktik pemborosan energi, tidak melakukan penyerobotan lahan, tidak berkontribusi dalam kebisingan , dan menjaga keanekaragaman hayati
c.       Landasan pokok CSR dalam isu sosial, meliputi: menjamin kesehatan karyawan atau masyarakat yang terkena dampak, tidak mempekerjakan anak, memberikan dampak positif terhadap masyarakat, melakukan proteksi konsumen, menjunjungkeberanekaragaman, menjaga privasi, melakukan praktik derma sesuai dengan kebutuhan, bertanggungjawab dalam proses Outsourcing dan off-shoring, dan akses untuk memperoleh barang-barang tertentu dengan harga wajar
d.      Landasan pokok CSR dalam isu kesejahteraan, meliputi: memberikan kompensasi terhadap karyawan, memanfaatkan subsidi dan kemudahan yang diberikan pemerintah, menjaga kesehatan karyawan, menjaga keamanan kondisi tempat kerja, menjaga keselamatan dan kesehatan kerja, dan menjaga keseimbangan kerja/hidup
Selain itu perusahaan bukanlah entiatas tunggal, melainkan menjadi bagian dari pemangku kepentingan (stakeholder). Secara sederhana definisi stakeholder adalah kelompok-kelompok yang mempengaruhi dan/atau dipengaruhi oleh organisasi tersebut sebagai dampak dari aktifitas-aktifitasnya (Tanari, 2009)Stakeholder terdiri dari:
  1. Pelanggan: berhak mendapatkan produk berkualitas, dan harga yang layak.
  2. Masyarakat: berhak mendapatkan perlindungan dari kejahatan bisnis, dan mendapatkan hubungan yang baik dari keberadaan perusahaan
  3. Pekerja: berhak mendapatkan jaminan keamanan dalam bekerja, mendapatkan jaminan keselamatan, dan mendapatkan perlakukan yang adil dan non diskriminasi
  4. Pemegang Saham: berhak mendapatkan harga saham yang layak dan keuntungan saham.
  5. Lingkungan: berhak mendapatkan jaminan terhadap perlindungan alam, dan mendapatkan rehabilitasi
  6. Pemerintah: berhak mendapatkan laporan atas pemenuhan persyaratan hukum
  7. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM): berhak menjalankan fungsi kontrol baik terhadap regulasi maupun komitmen perusahaan.
Dalam konteks penerapan CSR, stakeholder wajib dirangkul dan dilibatkan baik dalam tahap perencanaan, implemantasi dan evaluasi. Jikapun stakeholder tidak dilibatkan dalam proses perencanaan, setidaknya mendapatkan kontribusi berupa dampak positif dari program yang dilaksanakan. Andai terdapat satu stakeholder tidak mendapatkan manfaat atau kepuasan dari perusahaan, maka berpotensi menjadi masalah bagi keberlanjutan perusahaan dikemudian hari.

2. Peraturan Terkait CSR
Saat ini baru terdapat 4 (empat) aturan hukum yang mewajibkan perusahaan tertentu melaksanakan aktivitas CSR atau tanggungjawab sosial dan lingkungan, serta satu panduan (guidance) internasional mengenai tanggungjawab berkelanjutan (sustainability responsibility),diantaranya:
Pertama, bagi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) wajib melaknasakan Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) sesuai dengan Peraturan Menteri Negara BUMN: Per-05/MBU/2007 Pasal 1 ayat (6) dijelaskan bahwa Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil, yang selanjutnya disebut Program Kemitraan, adalah program untuk meningkatkan kemampuan usaha kecil agar menjadi tangguh dan mandiri melalui pemanfaatan dana dari bagian laba BUMN. Sedangkan pada pasal 1 ayat (7) dijelaskan bahwa Program Bina Lingkungan, yang selanjutnya disebut Program BL, adalah program pemberdayaan kondisi sosial masyarakat oleh BUMN melalui pemanfaatan dana dari bagian laba BUMN. Program Bina Lingkungan, meliputi: bantuan korban bencana alam; bantuan pendidikan dan/atau pelatihan;bantuan peningkatan kesehatan; bantuan pengembangan prasarana dan/atau sarana umum;bantuan sarana ibadah; dan bantuan pelestarian alam.
Kedua, Peraturan bagi Perseroan Terbatas (PT) yang mengelola Sumber Daya Alam (SDA) diwajibkan melaksanakan tanggungjawab sosial dan lingkungan, karena telah diatur dalam UU Perseroan Terbatas No.40 Tahun 2007. Dimana dalam pasal 74 diatur bahwa : (1)Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan, (2)Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud ayat (1) merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran, (3) Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketiga, bagi penanaman modal asing, diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, daalam Pasal 15 (b) dinyatakan bahwa "Setiap penanam modal berkewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan". Sanksi-sanksi terhadap badan usaha atau perseorangan yang melanggar peraturan, diatur dalam Pasal 34, yaitu berupa sanksi administratif dan sanksi lainnya, meliputi:  (a). Peringatan tertulis; (b). pembatasan kegiatan usaha; (c). pembekuan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal; atau (d). pencabutan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal
Keempat, bagi perusahaan pengelola minyak dan gas bumi, terikat oleh Undang-undang No 22 Tahun 2001, tentang Minyak dan Gas Bumi, Pasal 13 ayat 3 (p), menyebutkan bahwa: ”Kontrak Kerja Sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib memuat paling sedikit ketentuan-ketentuan pokok yaitu : (p). pengembangan masyarakat sekitarnya dan jaminan hak-hak masyarakat adat”. Jadi berdasarkan Undang-undang tersebut, perusahaan yang operasionalnya terkait Minyak dan Gas Bumi baik pengelola eksplorasi maupun distribusi, wajib melaksanakan kegiatan pengembangan masyarakat dan menjamin hak-hak masyarakat adat yang berada di sekitar perusahaan.
Kelima, ISO 26000, merupakan standar internasional dalam bidang Corporate Social Responsibility. Di dasarkan pada Pemahaman bahwa Sosial Responsibility sangat penting bagi keberlanjutan usaha. Fokus ISO adalah tata kelola organisasi, Hak Asasi manusia (HAM),ketenagakerjaan, lingkungan, fair operating /praktek operasi yang adil, isu konsumen dan Pengembangan masyarakat. ISO sendiri bertujuan membantu berbagai bentuk organisasi dalam pelaksanaan social responsibilityDengan cara memberikan pedoman praktis, serta memperluas pemahaman publik terhadap social responsibility.
Jika dilihat dari peraturan diatas, urusan terkait dengan CSR merupakan domain pemerintah pusat, karena baik Peraturan Menteri BUMN, Undang-Undang PT, Undang-Undang PMA, Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi dibuat oleh DPR bersama Pemerintah Pusat. Sedangkan peran pemerintah daerah adalah melakukan monitoring dengan perangkat Analisis Mengenai Dampak Lingkungan dan Sosial (Amdalsos) dan mengkaji sejauhmana perusahaan mampu memberikan manfaatnya kepada stakeholder dalam hal ini masyarakat setempat. Pemda tidak berkewenangan dalam mengatur CSR yang merupakan urusan program perusahaan terlebih masalah pengelolaan dananya, kecuali menjalin kerjasama antarstakeholder didasarkan pada program dan skala prioritas yang sama terkait upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat setempat.

III. Kepentingan Perusahaan dan Pemerintah Daerah
Dalam pembuatan Perda CSR, pihak DPRD maupun pemerintah terkadang tidak memperhatikan pihak yang menjadi objek yang dikenai tanggungjawab Perda, dalam hal ini perusahaan. Seharusnya pemerintah memahami konstruksi berpikir perusahaan, karena akan menjadi kontradiktif ketika pada satu sisi daerah berupaya menarik investor untukmenanamkan modalnya, sedangkan disisi lain akibat terlalu banyaknya aturan, biaya formal maupun informal, malah membuat investor enggan menanamkan investasinya. Berdasarkan penelitian BAPPENAS dan LIPI pada tahun 2008, dikemukakan bahwa terdapat enam alasan hambatan investasi di Indonesia, diantaranya: pertama, belum optimalnya pelaksanaan harmonisasi pusat dan daerah. Kedua, kualitas infrastruktur yang kurang memadai. Ketiga, masih cukup panjangnya perizinan investasi sehingga masih tingginya biaya perizinan investasi dibandingkan dengan negara-negara kompetitir. Keempat, belum tercukupinya pasokan energi yang dibutuhkan untuk kegiatan industri. Kelima masih cukup banyak peraturan daerah yang menghambat iklim investasi. Keenam, masih terkonsentrasinya sebaran investasi di Pulau Jawa, dan belum optimalnya pelaksanaan alih teknologi.(http://nasional.kontan.co.id/v2/read/nasional/29432/Enam-Hambatan-Investasi-di-Indonesia).
Berdasarkan alasan diatas, perusahaan memiliki logika berpikir atas kalkulasi sederhana, biaya izin usaha termasuk pajak di Indonesia lumayan besar dan itu pun belum menjamin izin tersebut tuntas dari hulu sampai hilir, belum lagi perizinan turunan di tingkat provinsi, kabupaten hingga kecamatan. Ditambah biaya-biaya informal untuk mempercepat proses perizinan, jatah-jatah pihak-pihakl yang berkepentingan, proposal pembangunan masjid, pembangunan sekolah dan lainnya. Apa jadinya jika ditambah lagi beban perusahaan dengan Perda yang mengatur CSR, terlebih substansinya ditekankan pada menghimpun dana CSR perusahaan, bukan bagaimana seharusnya melakukan prkatik CSR secara ideal.
Alangkah lebih baik pemerintah daerah memperjuangkan hak-hak buruh, peningkatanUpah Minimum Kabupaten/Kota (UMK), dan lain sebagainya, tanpa harus dipusingkan kewajiban sosial perusahaan yang secara mendasar sudah diatur dalam Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) dan Rencanana Pemantauan Lingkungan (RPL) Analisis Mengenai Dampak Lingkungan dan Sosial (Amdalsos). Sebetulnya keseriusan perusahaan dalam penerapan CSR tinggal dievaluasi pada level itu, karena dalam Amdalsos sudah ada indikator sosial dan lingkungannya, jika perusahaan melanggar maka pemerintah tinggal mencabut Amdalnya. Kondisi yang terjadi adalah Amdalsos sendiri mulai dari permohonan hingga hasilnya bisa ”diatur” pemerintah dan perusahaan, yang dirugikan selalu masyarakat setempat.
Secara hakikat berbicara CSR bukanlah hal yang mudah dalam arti menetapkan program asal jalan, asal sumbang, asal bangun dan asal ada anggaran, yang ada pada akhirnya malah merusak kapital sosial masyarakat. CSR dilakukan berdasarkan pertimbangan matang sesuai kebutuhan masyarakat bukan keinginan masyarakat sebagaiana telah diurai dalam kerangka pemikiran diatas.
Setidaknya terdapat lima  tahap dalam melakukan CSR yaitu need assessment (kajian kebutuhan), plan of treatment (perencanaan program), treatment action (aplikasi program),termination (pemutusan bantuan) dan evaluation (evaluasi) dan After Care (Adi, 2007). Setiap proses CSR membutuhkan waktu ideal, membutuhkan mereka yang ahli dan memiliki kapasitas dalam pengelolaannya, karena program CSR berkaitan dengan lokalitas, kebermanfaatan, keberdayaan, hubungan mutualisme, dan kepentingan stakeholder (Rahmatullah, 2011). Apakah pemerintah daerah melalui pembuatan Perda CSR yang bernuansa pengelolaan dana bersama, mampu menjamin terlaksananya aspek-aspek tersebut.
Alangkah lebih baik jika pembuatan Perda CSR bukan menjadi sebuah ‘demam’ atau budaya ikut-ikutan antar daerah sebagai bentuk kebablasan di era otonomi daerah, didasarkan pada matematika anggaran semata, melainkan perlu pengkajian secara mendalam. CSR memang merupakan bentuk kewajiban bagi perusahaan tertentu, tapi harus dilihat dahulu aturan apa yang melingkupinya. Jauh lebih baik jika pemerintah daerah melihat dahulu kondisi ‘kesehatan perusahaan’,  Jangankan mengatur CSR, gaji buruh saja misalnya masih dibawah UMK, kondisi kesehatan perusahaan-pun hidup segan mati tak mau. Lebih baik pemerintah melalui kewenangannya memperkuat kontrol pelaksanaan RKP dan RKL Amdalsos. Jangan sampai Pembuatan Perda CSR hanya membuang energi dan biaya percuma, lalu dibatalkan oleh Kementrian Dalam Negeri dikarenakan tidak ada referensi hukum atau berbenturan dengan aturan hukum diatasnya, sebagaimana pada tahun 2002, terdapat 402 Peraturan Daerah yang dibatalkan (http://www.depdagri.go.id/media/documents/2010/03/05/d/a/daftar_kepmen_pembatalan_perda_data_2002-2009.pdf). Jikapun Pemda ingin membenahi pola pelaksanaan CSR perusahaansalah satu langkanya adalah melakukan koordinasi dan sinkroisasi program yang sejalan didasarkan basis data dan kebutuhan yang terukur. Selain itu pemerintah wajib melakukan evaluasi sejauhmana pelaksanaan CSR yang perusahaan lakukan, sudah memberdayakan masyarakat lokal atau malah membuat dependensi baru, lalu Pemda memberikan catatan perbaikannya dalam bentuk rekomendasi yang sifatnya berkelanjutan.


Daftar Pustaka

Buku:
Adi, Isbandi Rukminto. 2008. Intervensi Komunitas Pengembangan Masyarakat Sebagai Upaya Pemberdayaan Masyarakat. Jakarta : Rajawali Press.
Kotler, Philip, Lee, dan Nancy. 2005. Corporate Social Responsibility : Doing The Most Good for Your Cause. New Jersey : John Willey & Sons Inc.
Rahmatullah& Kurniati, Trianita. Pedoman Praktis Pengelolaan CSR. (Belum terpublikasi)
Rudito, Bambang. 2004. Corporate Social Responsibility; Jawaban Bagi Pembangunan Indonesia Masa Kini. Jakarta. ICSD.
Solihin, Ismail. 2009. Corporate Social Responsibility; From Charity to Sustainability. Jakarta. PT.Salemba Empat.
Wibisono, Yusuf. Membedah Konsep dan Aplikasi CSR. Gresik. Fascho Publishing, 2007

Paper dan Dokumen Negara:
Guidance On Social Responsibility, Document ISO 26000, 2008.
Kerangka Acuan Kerja (KAK) Workshop Kajian Penerapan Pasal 74 UU PT NO.40/2007 dan Kaitannya Dengan Pelaksanaan PKBL Pada Badan Usaha Milik Negara.
Peraturan Menteri Negara BUMN No: Per-05/MBU/2007
Rahmatullah, Program CSR dan Pembangunan Banten, Artikel. 2009
Rahmatullah, Evaluasi Pelaksanaan Program kemitraan Koperasi Komunitas Saguling Pada PT IndonesIa Power, Penelitian, 2008.
Rahmatullah, Corporate Social Responsibility (CSR) Dan Keberlanjutan Perusahaan


Sumber : http://www.rahmatullah.net/2011/05/csr-dan-kepentingan-pemerintah-daerah.html

Kehidupan Sehari-Hari di Kota Betawi Tempo Dulu

Untuk sedikit mengetahui kehidupan sehari-hari di kota Betawi tempo dulu, marilah kita ikuti tulisan seorang turis domestik asal Jawa Tengah yang bernama R.A Sastrodarmo yang telah menulis buku berjudul "Kawontenan Ing Nagari Betawi" tahun 1865. Sastrodarmo menulis, orang-orang laki di Betawi kurang senang berambut gondrong, namun menyukai rambut gundul, barangkali menyesuaikan iklim yang panas. Peraturan Polisi dilakukan dengan ketat, bila ada persoalan diselesaikan cepat tanpa memungut biaya sedikitpun, dan berlaku tanpa pandang bulu bangsa.



Bagi pembuang sampah yang sembrono kena denda. Setiap penduduk yang sudah mencapai umur 15 tahun harus punya KTP dan dikeluarkan oleh Lurah (BEK) masing-masing dengan membayar 25 sen. Siapa yang ketangkap tanpa KTP kena denda kurungan 5 hari. Selewat jam 19.00 malam dilarang bawa senjata tajam misalnya golok dan sebagainya. Bagi pedagang yang menetap maupun keliling harus punya Surat Pas yang menerangkan jenis dagangannya. Setiap jalan besar dijaga

petugas yang kerjanya keliling kampung juga, mereka inilah mata-mata Polisi yang sering menangkap penjahat atau pelanggar peraturan lainnya. Gardu penjagaan selalu ada penjaga 2 orang waktu siang, kalau malam 5 orang, bersenjata tombak berujung dua.

Bila ada kebakaran, kentongan dibunyikan bertalu-talu. Demikian juga bila ada orang mengamuk. Di Jakarta waktu itu baru ada 4 rumah gadai yaitu didekat pasar: Tanah Abang, Senen, Pasar Baru, dan Glodog. Kepala penduduk Betawi disebut komendan. Semuanya ada 4 orang, ditambah seorang jaksa, 4 ajun jaksa dan 12 orang ajudan. Dibawah ajudan ada para lurah kampung atau yang di sebut BEK, mambawahi Tueidhe dan 2 orang Sarean. 


1953-1960: Daerah Pecinan di Glodok, Jakarta.

Pembagian wilayah menjadi BEK (asal kata Wyk) berlangsung sejak tahun 1655, tugasnya melaksanakan cacah jiwa. Penduduk batavia yang terdiri dari bermacam-macam suku bangsa, disampig bahasa daerahnya juga mengunakan bahasa Melayu. Orang Betawi berpangkat Ajudan keatas mengunakan celana dan baju laken, bersarung di lipat keatas setinggi lutut, bersepatu. Baju berpelesir renda leher dan lengannya. Lebar pelesir menandakan tinggi rendahnya jabatan si pemakai. Ikat kepalanya disebut Bungkus Kul, tanpa memakai keris. Para BEK dan bawahannya mengenakan celana panjang, sarung dilipat sampai dengkul, ikat pinggang lebar dan mudah dilepas. Bajunya mirip setengah jas, ikat kepala bergaya Colak-Calik atau Bungkus Kul tanpa sepatu, tetapi berceriputanpa keris. Ciri khas seorang BEK ialah arloji rantai disaku di ganduli kuku macan atau batu mulia lainnya. Bagi wanitanya, umumnya mengunakan pakaian ala Nyai, yaitu kain sarung sutera, memakai ikat pinggang pending, tidak berkemben baju kebaya longgar, lengkap peniti bersubang kerabu. Konde bergaya ekor bebek atau ekor udang dan tusuk konde, rimong sutera, selop berbunga emas. Masyarakat Betawi memang terkenal taat pada agama, itulah sebabnya mereka di sebut "orang Selam" (maksudnya Islam).
Tanah Abang pernah menjadi pangkalan mobil taksi. Jenis kendaraan lainnya yaitu Ebro, kendaraan bertenda dan beroda 4 ditarik 2 ekor kuda yang dipisahkan terak panjang. Orang Belanda menyebutnya Brik. Juga ada kendaraaan Sado yang yang mungkin berasal dari kata Dosados, yaitu kendaraan berpenumpang adu punggung. Ada lagi Delman seperti yang kita kenal, mungkin dari kata Edelman (perancangnya). Disetiap ada perempatan dipasang lampu setengah bola yang menyinari di waktu malam, berguna bagi taksi dan sais. Selain pasar Tanah Abang sampai akhir abad ke-19 disekitarnya belum ada bangunan permanen.

Setelah Jepang menjajah Indonesia, kobaran api peperangan Asia Timur Raya tidak luput menyeret kota Jakarta kedalam kekalutan dan kelumpuhan ekonomi.
Perusahaan dagang milik Belanda maupun Cina terhenti kegiatannya. Akibatnya kegiatan pasar pun tidak luput dari kekalutan. Terutama bahan bakar menyusut dengan cepa, karena Jepang juga sangat memerlukan bagi kemenangan peperangannya.
Bahan makan pokok terutama beras semahal dan sesulit emas. Kesempatan ini menumbuhkan suburnya kaumspekulan dengan menimbun bahan sandang maupun pangan. Penjualan minyak tanah dilakukan menurut jatah. Baru setengah tahun Jepang berkuasa harga-harga sudah meningkat, misalnya minyak kelapa yang semula F3 melonjak menjadi F8. sering terjadi penangkapan oleh pihak Jepang terhadap para spekulan. Tindakan ini bukannya membantu keadaan namun malah sebaliknya yaitu menghilangnya barang-barang kebutuhan dari pasaran. Tekstiel misalnya juga ikut menghilang dari pasar Tanah Abang (T.A). Toko-toko yang semula penuh dagangan berubah kosong melompong dan tutup.
Untuk menetapkan harga tertinggi beberapa jenis makanan, Jepang mengeluarkan peraturan yang disebut USAMU SEIREI No. 38 tahun 43 diantaranya jenis kacang kedelai, jagung, gaplek, kacang tanah yang berlaku diseluruh Pulau Jawa dan Madura.
Sekalipun hanya 3,5 tahun penjajahan berlangsung, bagi dunia perpasaran khususnya pasar T.A merupakan masa paling suram baikmbagi pedagang maupun pembeli. Pada zaman Jepang, Jakarta tidak mengalami kemajuan pembangunan kecuali hanya penggantian nama jalan, taman dan daerah saja. Sekitar 250 nama digantinya. Dan yang lebih menyedihkan ialah nama-nama tersebut tidak ada hubungannya maupun nilai sejarah Indonesia, semata-mata menuruti menuruti selera Jepang semata-mata. Sejak 8 Agustus 1942 Batavia menjadi Tokubetu Sisemacam Kota Praja luar biasa.

Sumber : http://catatanhaikals.blogspot.com/

SK GUBERNUR PROVINSI DKI JAKARTA NO.36 TAHUN 2001


KEPUTUSAN GUBERNUR PROVINSI DAERAH KHUSUS

IBUKOTA JAKARTA
NOMOR 36 TAHUN 2001

TENTANG
PEDOMAN RUKUN TETANGGA DAN RUKUN WARGA

DI PROPINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA
GUBERNUR PROPINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA

Menimbang :
a. bahwa Rukun Tetangga dan Rukun Warga di Propinsi DKI Jakarta telah tumbuh dan berkembang atas prakarsa dan inisiatif masyarakat dan telah berperan dalam upaya mewujudkan kerukunan tetangga dan warga masyarakat;
b. bahwa dalam rangka mewujudkan pemberdayaan masyarakat yang lebih berorientasi pada demokratisasi dan kerukunan tetangga dan warga, maka Peraturan Dasar Rukun Tetangga dan Rukun Warga (RT-RW) Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta yang ditetapkan dengan tuntutan perkembangan kehidupan masyarakat Ibikota Jakarta;
c. bahwa sehubungan dengan huruf a di atas dan dalam upaya lebih meningkatkan peranan dan kinerja Rukun Tetangga dan Rukun Warga, perlu menetapkan Pedoman Rukun Tetangga dan Rukun Warga di Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta dengan Keputusan Gubernur.
Mengingat : 
1. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah;
2. Undang-undang Nomor 34 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Propinsi Daerah Khusus Ibukota Negara Republik Indonesia Jakarta;
3. Peraturan Daerah Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 5 Tahun 2000 tentang Dewan Kelurahan.

MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
KEPUTUSAN GUBERNUR PROPINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA TENTANG PEDOMAN RUKUN TETANGGA DAN RUKUN WARGA DI PROPINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA
BAB I

KETENTUAN UMUM
Pasal 1

Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan :
  1. Daerah adalah Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
  2. Pemerintah Daerah adalah Pemerintahan Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
  3. Gubernur adalah Gubernur Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
  4. Pemerintah Kotamadya/Kabupaten Administrasi adalah Pemerintah Kotamadya/Kabupaten Administrasi Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
  5. Walikotamadya/Bupati Administrasi adalah Walikotamadya/Bupati Administrasi Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
  6. Pemerintah Kecamatan adalah Pemerintah Kecamatan pada Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
  7. Camat adalah Kepala Pemerintahan Kecamatan pada Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
  8. Pemerintah Kelurahan adalah Pemerintahan Kelurahan pada Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
  9. Lurah adalah Kepala Pemerintahan Kelurahan pada Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
  10. Dewan Kelurahan adalah Dewan Kelurahan pada Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
  11. Tokoh Masyarakat adalam pemimpin masyarakat dalam berbagai bidang kehidupan sosial kemasyarakatan (Poleksosbudhankam) yang diakui oleh masyarakat lingkungannya.
  12. Penduduk setempat adalah setiap orang, baik warga negara Republik Indonesia maupun orang asing yang secara de facto dan de jure bertempat tinggal di dalam wilayah RT dan RW yang bersangkutan.
  13. Kepala Keluarga adalah penanggungjawab anggota keluarga yang terdaftar dalam kartu keluarga.
  14. Penduduk dewasa adalah penduduk yang telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun atau yang telah atau pernah kawin.
  15. Swadaya masyarakat adalah kemampuan dari suatu kelompok masyarakat dengan kesadaran dan inisiatif sendiri mengadakan ikhtiar ke arah pemenuhan kebutuhan jangka pendek maupun jangka panjang yang dirasakan dalam kelompok masyarakat itu.
  16. Pemberdayaan masyarakat adalah pengikut sertaan dalam perencanaan, pelaksanaan dan pemilikan.
  17. Kartu Keluarga adalah kartu yang berisi data identitas kepala keluarga dan anggotanya yang telah dicatat dan ditandatangani oleh Ketua RT, RW dan Lurah.

BAB II
LANDASAN, TUJUAN, KEDUDUKAN
Pasal 2
1) Memberikan pelayanan kepada penduduk setempat sesuai denagn ketentuan yang berlaku;
2) Mengerjakan swadaya dan kegotongroyongan masyarakat;
3) Berpartisipasi dalam peningkatan pemberdayaan masyarakat;
4) Berpartisipasi dan menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat;
5) Berpartisipasi dalam meningkatkan kondisi ketentraman, ketertiban dan kerukunan warga masyarakat;
6) Membantu menciptakan hubungan yang harmonis antar anggota masyarakat dan antara masyarakat dengan pemerintah masyarakat;
7) Manjaga hal-hal yang berkaitan denga lingkungan;
8) Berpartisipasi dalam perencanaan dan pelaksanaan kegiatan pembangunan fisik, ekonomi dan sosial yang biayanya bersumber dari swadaya masyarakat dan atau Pemerintah daerah serta memprtangungjawabkannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
9) Memberikan saran dan pertimbangan kepada anggota Dewan Kelurahan yang berasal dari RW yang bersangkutan.
BAB III
TUGAS DAN KEWAJIBAN
Pasal 3
Tugas dan kewajiban RT dan RW ditetapkan oleh forum musyawarah RT dan RW dengan berpedoman kepada upaya-upaya dalam rangka :
 
(1) Memberikan swadaya dan kegotongroyonan masyarakat;
(2) Menggerakkan swadaya dan kegotongroyongan masyarakat; (3) Berpartisipasi dalam peningkatan pemberdayaan masyarakat; (4) Berpartisipasi dalam menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat
(5) Berpartisipasi dalam meningkatkan kondisi ketentraman, ketertiban dan kerukunan warga masyarakat;
(6) Membantu menciptakan hubungan yang harmonis antar anggota masyarakat dan antara masyarakat dengan pemerintah daerah;
(7) Menjaga hal-hal yang berkaitan dengan lingkungan;
(8) Berpartisipasi dalam perencanaan dan pelaksanaan kegiatan pembangunan fisik, ekonomi dan sosial yang biayanya dari swadaya masyarakat dan atau pemerintah daerah serta mempertanggungjawabkannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
(9) Memberikan saran dan pertimbangan kepada anggota Dewan Kelurahan yang berasal dari RW yang bersangkutan. 
BAB IV
RUKUN TETANGGA

Bagian Pertama
Pembentukan
Pasal 4
1) Pembentukan wilayah RT secaa administrasi ditetapkan oleh lurah atas usul masyarakat dan dengan memperhatikan kondisi lingkungannya.
2) Setiap RT terdiri dari 30 sampai dengan 60 kepala keluarga.
3) Bagi wilayah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, jumlah kepada Keluarga sebagaimna dimaksud ayat (2) pasal ini, dapat disesuaikan dengan kebutuhan setempat.
4) Bagi penduduk yang bertempat tinggal di asrama, rumah susun, kondominium, apartemen atau yang sejenis dapat dibentuk RT tersendiri atau digabungkan dengan RT yang berdekatan.
5) Dalam hal RT tersebut pada ayat (4) pasal ini menjadi RT tersendiri, ketentuan jumlah kepala keluarga tersebut sebagaimana dimaksud ayat (2) apat disesuaikan dengan kebutuhan setempat.
Bagian Kedua
Keanggotaan
Pasal 5
Anggota RT adalah penduduk setempat yang terdafta dalam kartu keluarga pada RT bersangkutan.
Bagian Ketiga
Hak dan Kewajiban
Pasal 6
(1) Anggota RT mempunyai hak :
a. mamperoleh pelayanan administrasi dan kewilayahan dari RT dan RW;
b. mengajukan usul dan pendapat dalam musyawarah RT dan RW;
c. memilih pengurus RT;
d. dipilih sebagai pengurus RT dan RW;
e. turut serta dalam kegiatan yang dilaksanakan oleh RT dan RW.
(2) Anggota RT mempunyai kewajiban :
a. melaksanakan keputusan forum musyawarah RT dan RW;
b. menunjang terselenggaranya tugas dan kewajiban RT dan RW;
c. berperan aktif dalam kegiatan yang dilaksanakan oleh RT dan RW.
(3) Ketentuan ayat (1) dan (2) pasal ini dapat ditambah dan dikurangi oleh forum musyawarah RT.
Bagian Keempat
Pengurus
Pasal 7
(1) Pengurus RT terdiri dari ketua, sekretaris, bendahara dan seksi-seksi sesuai dengan kebutuhan;
(2) Ketua RT terpilih menyusun kepengurusan RT.

Pasal 8
(1) untuk menjadi pengurus RT harus memenuh persayaratan sebagai berikut:
a. Warga Negara Republik Indonesia baik laki-laki maupun perempuan;
b. Berkelakuan baik;
c. Penduduk dewasa;
d. Dan syarat-syarat lain yang ditentukan oleh forum musyawarah RT.
(2) Pengurus RT tidak boleh merangkap jabatan pengurus RW/dewan kelurahan/dewan kota.

Pasal 9
(1) Pemilihan ketua RT diselenggarakan oleh panitia pemilihan ketua RT;
(2) Pemilihan ketua RT sebagaimana dimaksud ayat (1) pasal ini dilaksanakan dalam forum musyawarah;
(3) Forum musyawarah menetapkan tat cara pemilihan ketua Rt;
(4) Keyua Rt terpilih ditetapkan secara administrasi dengan keputusan lurah.

Pasal 10
(1) Pembagian tugas antar pengurus RT ditetapkan dalam forum musyawarah RT;
(2) Pengurus RT bertanggungjawab kepada forum musyawarah RT.

Pasal 11
(1) Masa bakti pengurus RT adalah 3 tahun terhitung sejak tanggal Ketua RT terpilih;
(2) Selambat-lambatnya 14 hari sebelum berakhir masa baktinya, ketua RT wajib melaksanakan pembentukan panitia pemilihan ketua RT periode berikutnya sebagaimana dimaksud dalam pasal 9.

Pasal 12
(1) Pengurus RT berhenti sebelum selesai masa baktinya karena:
a. meninggal dunia;
b. keputusan forum musyawarah RT;
c. permintaan sendiri secara tertulis;
d. pindah tempat tinggal keluar wilayah RT yang bersangkutan;
e. melakukan perbuatan tercela sebagai pengurus RT;
f. tidak lagi memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 8.
(2) Ketua RT yang berhenti sebelum selesai masa baktinya diganti oleh salah seorang pengurus RT berdasarkan hasil keputusan forum musyawarah sampai dengan selesai masa baktinya;
(3) Pemberhentian dan pergantian pengurus RT sebagaimana dimaksud ayat (1) dan (2) pasal ini ditetapkan secara administrasi dengan keputusan lurah atas usul ketua RW.

Bagian Kelima
Forum Musyawarah RT
Pasal 13
(1) Forum musyawarah RT merupakan wadah permusyawaratan dan permufakatan tertinggi RT;
(2) Forum musyawarah RT terdiri dari pengurus RT dan penduduk dewasa anggota RT;
(3) Tata cara musyawarah ditentukan dalam forum musyawarah RT.

BAB V
RUKUN WARGA
Bagian Pertama
Pembentukan
Pasal 14
(1) Pebentukan wilayah RW ditetapkan secara administrasi oleh camat dengan memperhatikan kondisi lingkungan dan atas usul lurah berdasarkan atas keputusan forum musyawarah RW;
(2) Setiap RW terdiri dari 8 sampai denan 16 RT;
(3) Bagi wilayah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, jumlah RW sebagaimana dimaksud ayat (2) pasal ini, dapat disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan setempat.
Bagian Kedua
Keanggotaan
Pasal 15
Anggota RW adalah anggota RT.

Bagian Ketiga
Hak dan Kewajiban
Pasal 16
Hak dan kewajiban anggota RW adalah sama dengan hak dan kewajiban anggota RT

Bagian Keempat
Pengurus
Pasal 17
(1) Pengurus RW terdiri dari ketua, wakil ketua, sekretaris, bendahara dan seksi-seksi sesuai dengan kebutuhan;
(2) Ketua RW terpilih menyusun kepengurusan RW.

Pasal 18
(1) Untuk menjadi pengurus RW harus memenuhi persyaratan sama dengan untuk menjadi pengurus RT;
(2) Pengurus RW tidak boleh merangkap jabatan pengurus RT/dewan kelurahan/dewan kota.

Pasal 19
(1) Pemilihan ketua RW diselenggarakan oleh panitia pemilihan ketua RW;
(2) Pemilihan ketua RW sebagaimana dimaksud ayat (1) pasal ini dilaksanakan dalam forum musyawarah RW;
(3) Forum musyawarah menetapkan tata cara pemilihan ketua RW;
(4) Ketua RW terpilih ditetapkan secara administrasi dengan keputusan camat.

Pasal 20
(1) Pembagian tugas antar pengurus RW ditetapkan dalam forum musyawarah RW;
(2) Pengurus RW bertanggungjawab kepada forum musyawarah RW.

Pasal 21
(1) Masa bakti pengurus RW selama 3 Tahun terhitung sejak Ketua RW terpilih.
(2) Selambat-lambatnya 14 hari sebelum berakhir masa baktinya, ketua RW wajib melaksanakan pembentukan panitia ketua RW priode berikutnya sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat (1).

Pasal 22
(1) Pengurus RW berhenti sebelum selesai masa baktinya karena :
a. meninggal dunia;
b. keputusan forum musyawarah RW;
c. permintaan sendiri secra tertulis;
d. pindah tempat tinggal keluar wilayah RW yangbersangkutan;
e. melakukan perbuatan tercela sebagai pengurus RW;
f. tidak lagi memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 8;
(2) Ketua RW yang berhenti sebelum selesai masa baktinya diganti oleh salah seorang pengurus berdasarkan hasil keputusan forum musyawarah sampai dengan selesai masa baktinya;
(3) Pemberhentian dan pergantian pengurus RW sebagaimana dimaksud ayat (1) dan (2) pasal ini ditetapkan secara administrasi dengan keputusan camat atas usul lurah berdasarkan keputusan forum musyawarah RW.

Bagian Kelima
Forum Musyawarah RW
Pasal 23
(1) Forum musyawarah RW merupakan wadah permusyawaratan dan permufakatan tertinggi RW;
(2) Forum musyawarah RW terdiri dari pengurus RT dan RW;
(3) Tata cara musyawarah ditentukan dalam forum musyawarah RW.

BAB VI
KEUANGAN DAN KEKAYAAN
Pasal 24
(1) Ketentuan mengenai keuangan ditentukan oleh forum musyawarah RT dan RW sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
(2) Kekayaan dan atau barang inventaris organisasi masyarakat RT dan RW dikelola secara tertib, transparan dan dapat dipertanggungjawabkan.

BAB VII
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 25
Pemerintah Propinsi DKI Jakarta melakukan upaya-upaya dalam rangka peningkatan kinerja RT dan RW sesuai ketentuan yang berlaku.

BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 26
(1) RT dan RW yang ada pada saat berlakunya keputusan ini adalah tetap sebagai RT dan RW;
(2) Pengurus RT dan RW sebagaimana dimaksud ayat (1) pasal ini tetap melaksanakan kegiatannya sampai dengan masa baktinya berakhir.



BAB IX
KETENTUAN PENUTUP

(1) Hal-hal yang belum diatur dalam keputusan ini akan ditetapkan kemudian;
(2) Dengan berlakunya keputusan ini maka Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1332 tahun 1995 tentang Peraturan Dasar Rukun Tetangga dan Rukun Warga (RT-RW) daerah Khusus Ibukota Jakarta dinyatakan tidak berlaku lagi.
(3) Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Keputusan Gubernur ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 9 April 2001
GUBERNUR PROPINSI DAERAH KHUSUS
IBUKOTA JAKARTA,




SUTIYOSO

Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 10 April 2001
SEKRETARIS DAERAH PROPINSI DAERAH
KHUSUS IBUKOTA JAKARTA, 


H. FAUZI BOWO
NIP 470044314


LEMBARAN DAERAH PROPINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA TAHUN 2001 NOMOR 16 

 
Design by Lembaga Musyawarah Kerlurahan Duri Kepa | Bloggerized by Lasantha - LMK DURI KEPA | Online Project management